Blogger Template by Blogcrowds

Perkawinan Adat Jawa

 
Perkawinan adat sangat bermacam-macam. Sekarang yang akan kita bahas di sini adalah perkawinan dengan adat Jawa. Perkawinan adat Jawa melambangkan pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dan pengantin pria yang gagah dalam suatu suasana yang khusus sehingga pengantin pria dan pengantin wanita seperti menjadi raja dan ratu sehari. Biasanya perkawinan ini diadakan di rumah orang tua pengantin wanita, orang tua dari pengantin wanita lah yang menyelenggarakan upacara pernikahan ini. Pihak pengantin laki-laki membantu agar upacara pernikahan ini bisa berlangsung dengan baik. Adapun berbagai, macam ascara serta upacara yang harus dilakukan menurut perkawinan ada Jawa adalah:

Lamaran

Jika keduanya sudah merasa cocok, maka orangtua pengantin laki-laki mengirim utusan ke orangtua pengantin perempuan untuk melamar puteri mereka. Orangtua dari kedua pengantin telah menyetujui lamaran perkawinan. Biasanya orangtua perempuan yang akan mengurus dan mempersiapkan pesta perkawinan. Mereka yang memilih perangkat dan bentuk pernikahan. Setiap model pernikahan itu berbeda dandanan dan pakaian untuk pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Kedua mempelai harus mengikuti segala rencana dan susunan pesta pernikahan, seperti Peningsetan, Siraman, Midodareni, Panggih.

Persiapan Perkawinan

Segala persiapan tentu harus dilakukan. Dalam pernikahan jawa yang paling dominan mengatur jalannya upacara pernikahan adalah Pemaes yaitu dukun pengantin wanita yang menjadi pemimpin dari acara pernikahan, Dia mengurus dandanan dan pakaian pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya berbeda selama pesta pernikahan. Karena upacara pernikahan adalah pertunjukan yang besar, maka selain Pemaes yang memimpin acara pernikahan, dibentuk pula Panitia kecil terdiri dari teman dekat, keluarga dari kedua mempelai.

Pemasangan dekorasi

Biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah orangtua wanita dihias dengan Tarub (dekorasi tumbuhan), Yang terdiri dari pohon pisang, buah pisang, tebu, buah kelapa dan daun beringin yang memiliki arti agar Pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia dimana saja. Pasangan pengantin saling cinta satu sama lain dan akan merawat keluarga mereka. Dekorasi yang lain yang disiapkan adalah kembang mayang, yaitu suatu karangan bunga yang terdiri dari sebatang pohon pisang dan daun pohon kelapa.

Siraman

Makna dari pesta Siraman adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Pesta Siraman ini biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum acara pernikahan. Siraman diadakan di rumah orangtua pengantin masing-masing. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau di taman. Biasanya orang yang melakukan Siraman yaitu orangtua dan keluarga dekat atau orang yang dituakan.

Upacara Midodareni

Biasanya pengantin wanita harus tinggal di kamar dari jam enam sore sampai tengah malam dan ditemani oleh keluarga atau kerabat dekat perempuannya. Biasanya mereka akan memberi saran dan nasihat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita akan datang berkunjung, dan semuanya harus wanita.

Srah Srahan

Kedua keluarga menyetujui pernikahan. Mereka akan menjadi besan. Keluarga dari pengantin laki-laki berkunjung ke keluarga dari pengantin perempuan sambil membawa hadiah. Dalam kesempatan ini, kedua keluarga beramah tamah.

Upacara Ijab Kabul

Orang Jawa biasanya bicara lahir, menikah dan meninggal adalah takdir Tuhan. Upacara Ijab merupakan syarat yang paling penting dalam mengesahkan pernikahan. Pelaksanaan dari Ijab sesuai dengan agama dari pasangan pengantin. Pada saat ijab orang tua pengantin perempuan menikahkan anaknya kepada pengantin pria. Dan pengantin pria menerima nikahnya pengantin wanita yang disertai dengan penyerahan mas kawin bagi pengantin wanita. Pada saat ijab ini akan disaksikan oleh Penghulu atau pejabat pemerintah yang akan mencatat pernikahan mereka.

Upacara panggih

Pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dengan pengantin laki-laki yang tampan di depan rumah yang di hias dengan tanaman Tarub. Pengantin laki-laki di antar oleh keluarganya, tiba di rumah dari orangtua pengantin wanita dan berhenti di depan pintu gerbang. Pengantin wanita, di antar oleh dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar pengantin. Orangtuanya dan keluarga dekat berjalan di belakangnya.

Upacara balangan suruh

Pengantin wanita bertemu dengan pengantin laki-laki. Mereka mendekati satu sama lain, jaraknya sekitar tiga meter. Mereka mulai melempar sebundel daun betel dengan jeruk di dalamnya bersama dengan benang putih. Mereka melakukannya dengan keinginan besar dan kebahagian, semua orang tersenyum bahagia. Menurut kepercayaan kuno, daun betel mempunyai kekuatan untuk menolak dari gangguan buruk. Dengan melempar daun betel satu sama lain, itu akan mencoba bahwa mereka benar-benar orang yang sejati, bukan setan atau orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin laki-laki atau perempuan.

Upacara wiji dadi

Pengantin laki-laki menginjak telur dengan kaki kanannya. Pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air dicampur dengan bermacam-macam bunga. Itu mengartikan, bahwa pengantin laki-laki siap untuk menjadi ayah serta suami yang bertangung jawab dan pengantin perempuan akan melayani setia suaminya.

Tukar cincin

Pertukaran cincin pengantin simbol dari tanda cinta.

Upacara dahar kembul

Pasangan pengantin makan bersama dan menyuapi satu sama lain. Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga bulatan kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke pengantin wanita. Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama untuk suaminya. Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu melukiskan bahwa pasangan akan menggunakan dan menikmati hidup bahagia satu sama lain.

Upacara sungkeman

Kedua mempelai bersujut kepada kedua orangtua untuk mohon doa restu dari orangtua mereka masing-masing. Pertama ke orangtua pengantin wanita, kemudian ke orangtua pengantin laki-laki. Selama Sungkeman sedang berlangsung, Pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah Sungkeman, pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya.

Pesta pernikahan

Setelah upacara pernikahan selesai, selanjutnya diakhiri dengan pesta pernikahan. Menerima ucapan selamat dari para tamu dan undangan. Mungkin ini bagian dari kebahagiaan ke dua mempelai dengan para tamu, keluarga serta para undangan.

Sumber:  http://www.weddingku.com

TEGOWANGI TEMPLE


Tegowangi temple is one of ancient temple in Kediri region. This temple has saved many stories about Kediri history. There are some reliefs on the temple wall that interest the tourists who like the historic tourism. The temple is stand in one complex and it looks like a rectangular form. 

This temple is one historical tourism objects in Kediri regency. Find the historic value by visit this old temple.

Source: http://www.eastjava.com

Dasar religi orang Baduy ialah penghoramatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar supaya orang hidup menurut alur itu dalam menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai keturunan yang lebih muda). Mereka bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terbelihara baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan. Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan Batara Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat agama Sunda Wiwitan.

Para puun itu bukan hanya pemimpin tertinggi tetapi keturunan karuhun, yang langsung mewakili mereka di dunia. Ada beberapa konsep yang merupakan kewajiban puundalam rangka pikukuh, yaitu memelihara Sasaka Pusaka Buana; memelihara Sasakan Domas atau Parahyang; mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat; bertapa bagi kesejahteraan dunia; berbakti kepada dewi padi dengan berpuasa pada upacara, memuja nenek-moyang, dan membuat laksa untuk bahan pokok seba (Garna 1988).

Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung Cibeo. Para batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya.

Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung (Garna 1988). Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda.

Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan maijer dicatat sudah terjadi 13 kali pergantian puun Sikeusik (1891: hlm. 13). Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi (Garna 1988).

Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung.

Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.

Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang ---- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.

Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci). Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting (peling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur.

Sumber:
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di IndonesiaJakarta: Gramedia.


Sumber: http://uun-halimah.blogspot.com


Orang Batak sudah dikenal sebagai “Bangso”, kenapa..?

Dahulu sudah memiliki Kerajaan sendiri, Mardebata Mulajadi Nabolon (“pencipta yang maha besar”), memiliki Surat Aksara Batak, dan sudah pernah memiliki Uang tukar yakni Ringgit Batak (“Ringgit Sitio Suara”), uning-uningan namarragam (“musik”), memiliki Budaya Adat, dan mempunyai Hukum.

Namun sekarang ini sudah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan orang Batak Toba sudah banyak yang tidak mengetahui bahasa daerahnya sendiri, melihat perkembangan teknologi sekarang ini, tor-tor Batak sudah banyak yang tidak mengetahuinya, bahkan dewasa ini Ulos Batak tidak dikenal jenis-jenis dan Fungsinya

2 Musa 19 ayat 10:
Dung i didok Jahowa ma tusi Musa laho maho tumopot bangso i jala urasi nasida sadarion dohot marsogot asa ditatap nasida Ulos na.

Dengan dasar ini Bersama Toba dot Com, mensosialisasikan Jenis dan Fungsi Ulos Batak:

I.Ulos Antak-Antak, dipakai selendang orang tua melayat orang meninggal, dan dipakai sebagai kain dililit/ hohop hohop waktu acara manortor.

II.Ulos Bintang Maratur, Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya didalam acara-acara yakni: Diberikan kepada anak yang memasuki rumah baru oleh orang tua, kalau diadat Toba Ulos ini diberikan waktu selamatan Hamil 7 Bulan oleh orang tua, tetapi lain halnya kalau di Tarutung Ulos ini yang diberikan waktu acara suka cita (“gembira”), Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu yang baru lahir, parompa walaupun kebanyakan kasih mangiring apalagi yang maksudnya agar anak yang baru lahir diiringi anak selanjutnya, kemudian ulos ini dipakai untuk pahompu yang dibabtis dan juga dipakai untuk sebagai selendang.

III.Ulos Bolean, Ulos ini dipakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.

IV.Ulos Mangiring, Ulos ini dipakai selendang, Tali-tali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang dimaksud sebagai Simbol keinginan agar sianak diiringi anak yang seterusnya, bahkan Ulos ini dapat dipakai sebagai Parompa.

V.Ulos Padang Ursa, dipakai sebagai Tali-tali dan Selendang.

VI..Ulos Pinan Lobu-Lobu, dipakai sebagai Selendang.

VII. Ulos Pinuncaan, Ulos ini sebenarnya terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos yang kegunaannya antara lain:
Ulos ini dapat dipakai berbagai keperluan acara-acara duka cita atau suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai/ disandang oleh Raja-Raja Adat maupun oleh Rakyat Biasa selama memenuhi pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat suhut sihabolonon/ Hasuhutonlah (“tuan rumah”) yang memakai ulos ini, kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran, ulos ini juga dipakai/ dililit sebagai kain/ hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton, dan Ulos ini sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan.

VIII,Ulos Ragi Hotang, Ulos ini biasa diberi kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai Ulos Hela.

IX.Ragi Huting, Ulos ini sekarang sudah Jarang dipakai, konon jaman orang tua dulu sebelum merdeka, anak-anak perempuan pakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari dililit didada (Hoba-hoba), dan kemudian dipakai orang tua sebagai selendang apabila bepergian.

X.Ulos Sibolang Rasta Pamontari, Ulos ini kalau jaman dulu dipakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada jaman sekarang ini sibolang bisa dikatakan symbol duka cita, dipakai juga sebagai Ulos Saput (yang meninggal orang dewasa yang belum punya cucu), dan dipakai sebagai Ulos Tujung (Janda/Duda yang belum punya cucu), dan kemudian pada peristiwa duka cita Ulos ini paling banyak dipergunakan oleh keluarga dekat.

XI.Ulos Sibunga Umbasang dan Ulos Simpar, dipakai sebagai Selendang.

XII.Ulos Sitolu Tuho, Ulos ini dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita,

XIII.Ulos Suri-suri Ganjang, dipakai sebagai Hande-hande pada waktu margondang, dan dipergunakan sebagai oleh pihak Hula-hula untuk manggabe i borunya karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe.

XIV.Ulos Ragi Harangan, pemakaiannya sama dengan Ragi Pakko.

XV. Ulos Simarinjam sisi, dipakai sebagai kain, dan juga dilengkapi dengan Ulos Pinuncaan disandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani yang memakai ini satu orang paling depan.

XVI. Ulos Ragi Pakko, dipakai sebagai selimut pada jaman dahulu dan pengantar wanita yang dari keluarga kaya bawa dua ragi untuk selimut yang dipergunakan sehari-hari, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua meninggal akan disaput pakai Ragi ditambah Ulos lainnya yang disebit Ragi Pakko lantaran memang warnanya hitam seperti Pakko.

XVII.Ulos Tumtuman, dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai anak yang pertama dari hasuhutan.

XVIII Ulos Tutur-Tutur, dipakai sebagai tali-tali dan sebagai Hande-hande yang sering diberikan oleh orang tua sebagai Parompa kepada cucunya.

Maka dari jenis dan fungsi Ulos ini, disebut pengenalan jati diri orang batak sesuai Budaya dan Adatnya, dan orang Batak dikenal dari Ulos yang disandangnya, sian Tortornya bahkan dari Tungkot na.

Horassssss.!!!!!.

beberapa butir nilai budaya Bali sebagai berikut:

1.    Satya (kebenaran)

2.    Udàratà (kedermawanan)

3.    Úubhasaýkalpa (hasrat luhur)

4.    Nirbhayata (keberanian)

5.    Svavalambana (percaya diri)

6.    Yajña (pengorbanan)

7.    Viúvaprema (kasih sayang universal)

8.    Nirlobha/Aparigraha (tidak rakus)

9.    Ìrûyà (iri hati)

10.    Sàmàjika Saògathana (organisasi sosial)

11.    Mukti (Mokûa/penyelamatan spiritual)

12.    Svasti Vacana (aspirasi-aspirasi luhur)

13.    Úànti (damai)

14.    Ahiýúa (tanpa kekerasan/tidak anarkis)

15.    Bhadram (keutamaan/kemuliaan)

16.    Vicakûana (kebijaksanaan)

17.    Tapa (pengendalian diri)

18.    Niûkàmakarma (tidak mementingkan diri sendiri)

19.    Daivisampat (sifat ketuhanan/sifat yang luhur)

20.    Samànaá/Ekatva/Advaita/Kalih Samaika/Bhineka Tunggal Ika (persatuan/kesatuan)

21.    Lokasaýgraha (kesejahteraan bersama)

22.    Samani (solidaritas/kebersamaan)

23.    Vaúudhaivakutumbhakam (semua makhluk bersaudara)

24.    Maduravacana (ucapan yang baik dan ramah)

25.    Prayaúcitta (kesucian hati)

26.    Sevaka (pelayanan sosial)

27.    Akrodha (mengendalikan emosi)

28.    Guruúuúrusa (taat kepada guru)

29.    Úauca (suci/jernih pikirannya)

30.    Àhàralaghava (mengendalikan diri dalam menikmati makanan)

31.    Apramadha (tidak lalai)

32.    Brahmacari (tekun belajar)

33.    Avyavaharika (tidak suka bertengkar)

34.    Astainya (tidak mengambil milik orang lain/mencuri)

35.    Vairàgya (tidak mengikuti dorongan nafsu)

36.    Tyàga/Lascarya (tulus ikhlas)

37.    Santosa (puas/mensyukuri karunia Tuhan YME)

38.    Tapa (pengendalian diri)

39.    Svàdhyàya (belajar)

40.    Ìúvaraprànidhana (mendekatkan diri kepada Tuhan YME)

41.    Kayika Pariúuddha (perbuatan yang dipandang baik, yaitu: tidak membunuh, mencuri, dan tidak berzina)

42.    Vacika Pariúuddha (perkataan yang dipandang baik, yaitu: tidak jahat atau munafik, tidak kasar, tidak memfitnah dan tidak berdusta)

43.    Manacika Pariúuddha (pikiran yang dipandang baik, yaitu: tidak menginginkan milik orang lain, kasih dan sayang kepada semua makhluk, dan beriman kepada ajaran karmaphala)

44.    Arjawa (jujur)

45.    Anåsaýsya (tidak memenntingkan diri sendiri)

46.    Arimbhava (bersimpati kepada penderitaan orang lain)

47.    Indriyanigraha (mengendalikan indria)

48.    Dama (bisa menasehati diri sendiri0

49.    Dharaka, Sthitaprajña (tahan uji dalam menghadapi berbagai tantangan, stabil dalam suka dan duka)

50.    Hrìh/Jengah (memiliki rasa malu)

51.    Sadhusaýsarga (bergaul dengan orang-orang baik)

52.    Satyavacana (menepati janji)

53.    Satyamitra/Tindih (solidaritas kepada teman)

54.    Satyasamaya (tepat waktu)

55.    Kûama (pemaaf)

56.    Prìti (simpati, sangat welas asih)

57.    Prasàda (berpikiran jernih)

58.    Madurya (manis pandangannya)

59.    Màrdava (berhati lembut)

60.    Dàna (memberikan derma/berderma)

61.    Ijya (senantiasa memuja Tuhan YME dan leluhur)

62.    Dhyàna (kontemplasi)

63.    Upasthanigraha (pengendalian dorongan seks)

64.    Brata (melakukan pantangan tertentu)

65.    Mauna/Mona (mengendalikan wicara)

66.    Snana (menyucikan diri dengan sembahyang rutin)

67.    Dharma (taat menjalankan ajaran agama)

68.    Vimatsaritva (tidak dengki/irihati)

69.    Tìtìkûa (memiliki ketekunan dan kesabaran hati)

70.    Anasùyà (tidak berbuat dosa)

71.    Dhåti (hatinya tenang)

72.    Andrayuda (menguasai ajaran agama, pengetahuan lainnya dan bijaksana)

73.    Gunabhikûana (jujur dan mampu mengatasi berbagai kesukaran)

74.    Sadhuniragraha (tidak menyakiti makhluk lain)

75.    Vidagdaprasana (tidak mudah dihasut/dipropokasi)

76.    Kåtarajahita (tidak segan meminta maaf bila melakukan kesalahan)

77.    Tyagaprasana (tidak mengenal lelah bila melaksanakan tugas)

78.    Suraraksana (tidak mengenal rasa takut/tidak khawatir)

79.    Surapratyana (segan dan hormat kepada atasan/senioritas)

80.    Úànta  (satunya kata dengan perbuatan)

81.    Sanmatà (selalu ingin berbuat baik)

82.    Karuna (cinta kasih terhadap semua makhluk)

83.    Upeksa (mawas diri)

84.    Mudìtà (tutur katanya simpati)

85.    Maitri (memiliki kasih sayang/bersahabat kepada semua makhluk)

86.    Satyam nasti paro dharma (kebenaran adalah dharma tertinggi)

87.    Ahiýúa paramo dharmah (tidak menyakiti hati sesama makhluk hidup merupakan dharma tertinggi)

88.    Tat tvam asi (memandang setiap makhluk seperti diri sendiri)

89.    Trihita Karana (tiga hal yang menyebabkan sejahtera, hubungan harmoni dengan Tuhan YME, dengan sesama makhluk, dan dengan alam lingkungan/sekitar)

90.    Rvabhineda (dua hal yang berbeda, baik-buruk, salah-benar dan lain-lain)

91.    Sagari-giri-adomukha (keindahan yang mengandung daya magnetis bila di tepi pantai terlihat gunung dan pegunungan yang indah, dan bila berada di pegunungan, kelihatan pantai dan lautan yang indah)

92.    Satyam-Úivam-Sundaram (kebenaran-keharmonisan-keindahan)

93.    Parasparosarpanaya (salunglung-sabhayanta) (wirang) (beriuksaguluk) (bersatu padu) (solidaritas, seia sekata, senasib sepenanggungan)

94.    Dakûinà (kemurahan hati),

95.    Asevakadharma (mendahulukan kebajikan)

96.    Úànta-jagadhita (damai dan sejahtera)

97.    Trimandala (uttama, madhyama, kaniûþama, hulu, madia, teben)(di atas, di tengah-tengah, di bawah)

98.    Bhoga, Upabhoga, Paribhoga (pangan, sandang, papan)

99.    Asih-Puóya-Bhakti (cinta kasih, jasa dan penghormatan)

100.    Sadhugunavan (berbudipekerti luhur dan memiliki kemampuan)

101.    Agawe sukhaning praja (sukhaning ràt kininkinira)(senantiasa membangun kesejahteraan masyarakat)

102.    Deúa-Kàla-Patra (tempat-waktu-keadaan)

103.    Deúa amawacara nàgara amawa tata  (desa punya aturan, negara punya hukum yang mengatur segalanya)

104.    Nityasa angulih sutreptining nàgantu (senantiasa mewujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat)

105.    Pràjarakûaka (mewujudkan ketentraman masyarakat)

106.    Ksayanikang papa nahan prayojana (lenyapnya penderitaan masyarakat menjadi tujuan hidupnya)

107.    Sakatilinganingambek, nyata katresnan yata katemu (sesuatu yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan berhasil dicapai)

108.    Haywa ngkàla kûepa (tidak membuang kesempatan/waktu)

 


Sumber:  http://www.parisada.org/


DER kris der javaner merupakan buku yang paling banyak dikutip para penulis keris selanjutnya. Menarik, padahal buku Dr Groneman ini sesungguhnya lebih merupakan sebuah proyek keprihatinan, seperti terungkap dari pembukaan dan penutupnya. Lewat buku terbitan 1910 ini, ia mengimbau kepada sesama kaumnya di Eropa untuk mendukung dalam "membangkitkan kembali sebuah cabang yang sangat berharga dari Kemauan dan Kemampuan Jawa ini dari keruntuhan yang menyedihkan..."

Dengan gayanya yang lebih deskriptif, dibanding tematis, buku ini lantas jadi melebar ke mana-mana, ke segala sesuatu yang bersangkutan dengan keris. Bahkan, dalam pengertian tertentu, beberapa aspek budaya dan kehidupan lebih luas orang Jawa di masa itu ikut tergambarkan. Sehingga, jika diperbandingkan secara sederhana, kalau Raffles dengan The History of Java berusaha memahami 'Jawa' dengan mengupas satu-persatu berbagai aspeknya, Groneman melakukan hal itu dengan membedah secara detail lewat satu aspek saja (persenjataan), bahkan satu jenis senjata saja, namun melebar pada segala kaitannya.
Memang, pertanyaannya lalu, bagaimana hal itu jadi mungkin?
Di samping tiap aspek dari sebuah kebudayaan sedikit-banyak pasti bersangkut-paut satu sama lain, hal ini menjadi mungkin, dan karena itu sesungguhnya memperlihatkan, betapa cukup pentingnya keris dalam kehidupan orang Jawa. Dan, melihat sisa tata krama dan tata nilai yang bersangkutan dengan keris, misalnya sebagai bagian dalam sistem 'kepercayaan', piyandel (peneguh hati), keprajuritan, atau pun sistem dan upacara kebesaran, rasanya hal tersebut juga berlaku bagi sebagian besar suku-suku budaya lain di penjuru Nusantara. Bahkan, melebar sampai ke Pathani di Thailand Selatan, Campa (Kamboja), Malaysia, Brunei, serta Sulu dan Moro di Filipina Selatan (Bambang Harsrinuksmo & S Lumintu, Ensiklopedi Budaya Nasional: Keris dan Senjata Tradisional Indonesia Lainnya)
Hal ini sangat jelas tercermin dalam konsep lima prasyarat kehidupan sempurna bagi seorang lelaki Jawa, yakni wisma, wanita, kukila, turangga, dan curiga (rumah, wanita, burung sebagai lambang hobi, kuda sebagai lambang kendaraan, dan keris). Oleh karena itu, dunia keris Jawa berkedudukan di pusat tradisi, sehingga setiap lelaki selayaknya memiliki; bukan sebagai sekadar senjata, tetapi terlebih lagi sebagai pengukuh identitasnya sebagai lelaki dewasa dan seorang anggota keluarga dan masyarakat yang bertanggung jawab. (Garrett & Bronwen Solyom, The World of the Javanese Keris)
Betapa pentingnya keris di dalam kehidupan orang Jawa, barangkali juga terlihat lewat banyaknya pemakaian kata keris sebagai simbolisasi. Yang paling lazim dikenal tentulah ungkapan "curiga manjing warangka, warangka manjing curiga." Sebuah paradoks mistik yang menggambarkan manunggaling kawula lan gusti, bersatunya hamba (manusia) dan Tuhan. Sebuah konsep sentral dalam mistik Jawa yang pantheistis. (PJ Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti) Bahkan ada yang menafsirkan, persatuan dalam keterpisahan antara bilah keris dengan gonjo-nya (bagian bilah keris yang melintang di bagian bawah), juga melambangkan hal tersebut.
ASPEK mistik memang juga merupakan hal terpenting pada keris. Terus terang saja, yang membuat keris mempunyai tempat demikian penting di dalam tradisi kita, terutama adalah karena aspek mistik, yang terkadang 'melenceng' lebih jauh lagi, sehingga terdegradasi menjadi sekadar klenik. Bahkan, dewasa ini, ketika tempat keris yang demikian sentral di dalam tradisi kita itu sudah memudar jauh, justru aspek inilah yang tetap bertahan.
Contoh yang paling sederhana adalah, setiap menjelang pemilu, apalagi pakai ontran-ontran seperti kemarin ini, pedagang keris panen keras. Dan hal ini, tak lain dari warisan kepercayaan lama bahwa di dalam keris ada 'daya' tertentu yang dapat membuat orang sukses dalam bidang tertentu, katakanlah menjadi petinggi, jenderal, pengusaha sukses, playboy, bahkan, gilanya, juga pencuri ulung (mungkin ini kerisnya para petinggi kita yang doyan KKN itu).
Di masa lalu, kepercayaan bahwa sebilah keris mempunyai 'daya' tertentu sehingga menimbulkan legitimasi bagi seseorang untuk menduduki jabatan tertentu, merupakan barang biasa. Sebagai contoh, Amangkurat II dikisahkan pernah mengirim utusan untuk 'meminjam' pusaka Puger, yakni tombak Kyai Plered dan keris Kyai Mesanular. Ketika dikirim aslinya, Amangkurat II tercekam takut, lalu marah. Ia segera mengembalikan, dan meminta pinjam kopi modelnya saja.
Kyai Plered adalah pusaka keraton turun-temurun, yang pernah dipakai pendiri Mataram, Panembahan Senapati, untuk membunuh Arya Penangsang (Jipang). Sedangkan Kyai Mesanular, menurut Groneman, adalah pusaka raja terakhir Majapahit. Oleh karena itu, Babad Keraton, menuturkan hal itu sebagai pembuka untuk tema yang akan dikembangkan belakangan, yakni Puger memang mempunyai legitimasi supernatural untuk memiliki pusaka semacam itu, yang bahkan seorang raja saja takut menyentuhnya. Maka, sahlah kalau di belakang hari, ia menjadi raja Mataram berikutnya, dengan gelar Pakubuwana I. (MC Ricklefs, War, Culture and Economy in Java 1677-1726)
Sisa kepercayaan bahwa sebilah keris membawa legitimasi pemiliknya, juga masih kita kenal dalam tradisi orang kebanyakan di desa-desa Jawa. Sebagai misal, kalau terjadi halangan hadir, karena meninggal atau bertugas jauh, perkawinan dapat tetap dilangsungkan dengan keris pusaka sang pengantin lelaki sebagai ganti/wakil kehadirannya. Setelah disuling peradaban, menjadi pengertian yang lebih simbolik, mungkin masih dalam tradisi serupa jugalah pertukaran keris dipakai sebagai lambang ikatan persaudaraan, atau keris dipakai sebagai sesajen penunggu dangau, tolak bala, dsb.
BETAPAPUN, di lain pihak, sesungguhnya mencoba menempatkan keris sebagai benda budaya belaka, sebetulnya juga sudah dapat lebih dari cukup untuk mengundang decak kekaguman; khususnya dalam keartistikannya yang subtil dan teknologinya yang canggih.
Edward Frey, pengarang The Kris, Mystic Weapon of the Malay World, berkata, kebanyakan senjata menuntut keterampilan canggih dalam kerja logam, akan tetapi keris merupakan "contoh lebih baik dari keartistikan dalam kerja logam dibanding senjata mana pun."
Terlepas dari derajat kebenarannya, memang ada perbedaan mendasar yang membedakan keris dengan senjata-senjata tradisional lainnya, yang juga dianggap canggih dan menjadi semacam 'budaya' tersendiri, katakanlah katana Jepang atau pedang Eropa. Pada umumnya, tekanan teknologi senjata tradisional lainnya adalah pada kualitas bahan, yang berpengaruh pada kekuatan dan ketajamannya, kepadatan dan kemulusan permukaannya; kesempurnaan garap, baik bentuk, garis potong dan cekungan yang rapih, sempurna, dan (pada pedang Eropa juga) simetris; lalu baru keindahan ornamen pada hulu, rangka, dan (pada pedang Persia) juga pada logam berbeda yang ditatahkan pada bilahnya (inlay). Sehingga, dapat dikatakan, tekanan utamanya lebih pada kecanggihan fungsionalnya sebagai hasil kerja logam yang terampil dan sempurna.
Pada keris, terutama yang tua, sebagian besar unsur itu ada, walau menjadi bahan pertimbangan, tetapi kualitasnya masih jauh di bawah pedang Eropa atau katana Jepang. Khususnya dalam kualitas bahan dan kesempurnaan garap. Memang pada keris-keris nom-noman, istilah untuk keris yang muncul setelah periode pecahnya Surakarta dan Yogyakarta, atau lebih dikenal dengan istilah keris PB (Paku Buwana) dan HB (Hamengku Buwana), hal-hal tersebut juga semakin ditingkatkan.
Akan tetapi, di lain pihak, tekanan artistik pada keris dapat dikatakan bersifat menyeluruh. Stilisasi bentuk dan ornamentasi bukanlah sekadar pada hulu, cincin hulu ataupun rangkanya, tetapi juga sudah mulai dari penggarapan bilahnya. Dapatlah dikatakan, pada keris, sejak awal tak dapat dipisahkan antara kecenderungan kerja artistik dengan tujuan fungsionalnya. Jadi, semua unsur pada bilahnya, di samping punya makna mistis-simbolis, juga mengandaikan upaya pencapaian estetis. Di samping mistis, dapatlah dikatakan, keindahan itu sendirilah salah satu tujuan pembuatan keris.
Sebagai contoh, bilahnya rata-rata condong ke depan (kecuali keris Bali dan sundang Moro yang relatif tegak). Kecenderungan ini, ditambah dengan hulunya, yang pada keris Bugis dan Melayu bahkan sangat melengkung, menyulitkan untuk memegang erat. Atau tepatnya, ada cara tersendiri untuk memegangnya, yang kerap diistilahkan seperti memegang telur, jadi tidak kendur, tetapi juga tidak erat menggenggam seperti memegang pedang. Dengan demikian, keluwesan mengendalikan arahnya lewat pergelangan lebih utama dibanding keeratannya. Sulit membayangkannya dipakai gerakan menyabet, yang dengan sendirinya sangat bertenaga, seperti pada pedang.
Tersirat jelas betapa keris pastilah senjata tusuk, dan lebih dipergunakan dalam personal combat dibanding pertempuran nyata, terlebih lagi yang kolosal, yang tentu lebih membutuhkan senjata yang bersifat multi-purpose macam pedang. Struktur bilah dan hulu keris secara langsung membuat batasan pada cara pemakaiannya.
Barangkali, hal inilah yang menyebabkan, keris tak tampak dipakai pada latihan ilmu bela diri tradisional kita. Memang, para pakar keris juga beranggapan, keris bukan diciptakan untuk perang; kalaupun terpaksa, lebih sebagai senjata darurat. Bahkan, ada yang percaya bahwa keris hanya dipakai membunuh lawan yang kita hormati.
Dari sudut estetik, struktur bilah yang condong, dan cenderung asimetris itu, sudah memperlihatkan kecenderungannya yang stilis. Upaya mensetimbangkan komposisinya, lantas dilakukan tidak dengan membuat unsur-unsur yang serupa, dan sama besar bobot dan iramanya. Kalau tiga perempat bilah ke atas dibuat sepenuhnya simetris, pada kedua sisi dari bagian bawah, kesetimbangan justru dicapai dengan unsur-unsur yang sepenuhnya berbeda, seperti bobot dan irama, namun ditakar sampai setimbang. Jadi konsep estetikanya, mirip kesetimbangan asimetris pada ikebana (seni merangkai bunga) Jepang.
Sebagai contoh, gandik (muka bagian bawah) dibikin pendek, kaku, dan tebal. Jadi kesannya berat dan formal. Bahkan, pada beberapa dapur, ada semacam belalainya (kembang kacang) dengan duri-duri kecil di bawahnya (jalen dan lambe gajah), yang membuat kesan tambah necis dan formal. Barangkali dapat diibaratkan seperti tambahan dasi dan penjepitnya pada sebuah setelan lengan panjang. Sementara, profil luar dari bagian belakangnya melandai panjang (wadidang sampai buntut urang) yang memberi kesan ringan, ramping, berirama. Ditambah lagi duri-duri kecil berbentuk huruf Jawa da, duri pandan, terkadang juga lengkungan pada buntut urangnya, yang ornamentik. Pada tampak depannya, ada torehan sraweyan pipih melandai, yang semakin mengesankan ringan berirama. Jadi, sebaliknya, stilis.
Sungguh model kesetimbangan yang subtil, yang lebih banyak membutuhkan kepekaan perasaan, dibanding kesetiaan pada patokan-patokan. Masih banyak lagi model komposisi asimetrisnya yang lebih kompleks. Bayangkan, hanya pada bagian bawah, sor-soran, yang tingginya setelapak tangan, terdapat lebih dari 20 ornamen, yang punya makna dan nama sendiri-sendiri. Dan semua itu, sama sekali tak punya sangkut paut dengan fungsinya sebagai senjata tikam, tetapi lebih sebagai unsur estetis, dan terutama mistis-simbolis.
TEKANAN artistik tersebut lebih mencolok lagi dengan adanya hiasan di sepenuh bilah, yang berupa pola-pola lipatan lapisan-lapisan besi. Pola-pola yang timbul ini merupakan bagian langsung dari proses penempaan, dan bukan karena diukir, dilapisi ataupun di-srasah. Dan, bersifat sengaja, dalam arti direncanakan pilihan pola-pola bentuknya. Inilah yang dikenal dengan teknologi pamor.
Secara sederhana, pola-pola pamor itu dibuat dengan menyatukan lewat proses penempaan berulang-ulang lempengan besi dengan lempengan senyawa logam lain, sehingga membentuk puluhan, ratusan, bahkan ribuan lapisan-lapisan logam berbeda yang berselang-seling. Lalu, secara garis besar, ada beberapa teknik untuk membuat lapisan-lapisan ini membentuk pola tertentu, antara lain, dipasang datar lalu di-drip (ditetak) besi tumpul dalam berbagai gaya; dipasang menyisi horizontal, diagonal atau vertikal, dengan tambahan teknik lipatan, belahan ataupun langsung; dipasang setelah lebih dahulu dipuntir; atau dipuntir lalu dijepit maupun dipasang dengan teknik belahan.
Pola-pola tersebut muncul akibat perbedaan kepekaan antara lapisan-lapisan kedua senyawa logam tersebut terhadap campuran cairan asam jeruk nipis dengan warangan. Lapisan dari senyawa yang unsur besinya dominan, akan lebih cepat bereaksi sehingga 'terbakar' hitam. Sebaliknya, lapisan bahan pamor, yang menurut penelitian merupakan senyawa kapur, titanium, besi, zirkonium, niobium, dan terkadang juga nikel, kurang peka terhadap cairan tersebut, sehingga tetap putih keperakan. (Haryono Arumbinang M Sc, dkk, Tosan Aji Ditinjau Secara Metalurgi) Dengan demikian, tampillah pamor yang berbelang-belang hitam-putih dengan pola-pola indah, dan dipagari warna kelabu baja dari sisi tajamnya (slorok-nya).
Kalau ada yang harus dibanggakan dari pembuatan keris sebagai salah satu hasil budaya adiluhung bangsa kita di masa lampau, tentulah teknologi pamor ini. Para ahli memberi tiga catatan terhadap teknik pamor ini. Pertama, secara tak sengaja memakai titanium, bahan logam modern yang lebih keras, bertitik lebur lebih tinggi, tetapi justru lebih ringan dari baja. Di dunia modern, logam ini antara lain dipakai untuk badan pesawat udara. Lalu, kedua, kesadaran memakai teknik lapisan-lapisan, yang terbukti membuat satuannya menjadi lebih pejal untuk ketebalan yang sama. Dan ketiga, merancang pola-pola yang unik-menarik sebagai hiasan logam yang menyatu tak terpisah dengan bahan pokok senjatanya, yang jelas merupakan suatu pencapai artistik dan teknik tempa yang mengagumkan.
Terlebih lagi, teknologi ini betul-betul asli Nusantara. Sejauh ini, belum diketemukan adanya budaya bangsa lain yang juga memakai teknik pamor serupa untuk pembuatan senjata, atau perabot lainnya.
Memang, dalam bahasa Inggris, besi berpamor semacam ini disebut sebagai damascus steel, karena dipersamakan dengan ornamen logam pada pedang-pedang Persia lama, yang beribu kota Damaskus. Akan tetapi, teknik ornamen pada pedang Persia sebetulnya lebih merupakan inlay dan bukan pamor. Teknik ini juga dipakai untuk memberi hiasan tambahan pada keris, dan dikenal dengan istilah srasah. Cara pengerjaannya pun sangat berbeda, yakni dengan menorehkan ornamen tertentu pada bilah pedang, lalu mengisi torehan dengan logam yang lain warnanya, misalnya emas, sebelum meratakannya kembali.
TENTU saja konsep estetik asimetris bukanlah spesifik budaya keris. Banyak senjata bangsa lain menerapkan model kesetimbangan tersebut. Akan tetapi, penelitian sejauh ini membuktikan, bentuk keris sebagai senjata merupakan budaya asli Nusantara. Bahkan di India, yang di masa lampau punya banyak sangkut-paut piutang kebudayaan dengan kita, sama sekali tak ditemukan jejaknya.
Mengingat adanya migrasi bertahap dari Asia daratan ke kepulauan Indonesia di masa prasejarah, ada yang mengaitkan kemiripan keris sajen, keris berhulu patung manusia yang sering disalahtafsirkan sebagai keris Majapahit, dengan pisau Dong-Son dari Annam, selatan Hanoi. (Edward Frey, The Kris...) Bahkan, ada yang mencoba menyejajarkan 'cundrik Majapahit' ini dengan irama stilisasi rencong Aceh, kudi daun, kudi trancang, belati yagatan dari Timur Tengah, dan sebuah belati prasejarah tembaga yang diketemukan di Belanda (Majalah De Kris, No 3). Akan tetapi pandangan-pandangan ini terlalu spekulatif, karena langkanya bukti fisik ditemukan di Nusantara. Terlebih lagi, pisau Dong-Son adalah hasil seni cetak logam, bukan seni tempa pamor, dan dari zaman yang berbeda: perunggu.
Sejauh ini, catatan tertulis paling tua yang menyebut mengenai 'kres' datang dari tahun 824 M, yakni pada prasasti Karang Tengah. Betapapun, memang masih terlalu sedikit yang kita ketahui mengenai asal-usul benda ini, untuk mengetahui lebih jelas bagaimana pada masa yang demikian purba nenek moyang kita bisa menghasilkan teknologi tempa dan mencapai konsep artistik yang demikian canggih.
Meskipun demikian, kita tahu kesenian ini mengalami puncak keemasannya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Hal ini bukan saja kita saksikan langsung lewat peninggalannya, namun juga lewat pujian tertulis Ma Huan, yang kebetulan melihatnya, dalam Yingyai Sheng-lan (1416). Tuturnya, "Senjata ini mempunyai garis-garis dan bunga-bunga putih dan terbuat dari baja terbaik; hulunya dari emas, cula badak, dan gading, yang dipahat dalam sosok manusia atau setan, dan dengan garapan akhir yang seksama." (S Lumintu, Ensiklopedi...) Ma Huan juga menuturkan betapa hampir semua lelaki memakainya, sejak anak-anak, bahkan sejak umur tiga tahun.
Dengan demikian jelaslah, keris pada masa itu sempat menjadi atribut sehari-hari bagi semua lelaki. Dan, kalau kita bandingkan dengan keris jalak Buddha yang tak berpamor, yang diperkirakan pembuatannya beberapa abad sebelumnya, pada masa Majapahit ini keris jelas sudah berpamor indah seperti dewasa ini. Serta, sudah dibuat dengan baja bermutu tinggi. Semua hal yang membuat kita terheran-heran menyaksikannya sekarang, karena keris-keris dari periode berikutnya, yang seharusnya sudah lebih modern, justru mempunyai kualitas bahan dan penggarapan yang jauh di bawahnya. Ada yang memberi rasionalisasi, barangkali karena sebagai negara yang jaya, mereka sanggup mengimpor besi dari negara seberang. Begitu pula, sebagai negara yang mempunyai pemerintahan panjang, mereka sempat mengakumulasi pencapaian-pencapaian tinggi dalam berbagai bidang.
Pada dasarnya, sejak itu keris tak pernah mencapai masa keemasannya kembali. Memang, para pencinta keris sering menyebut masa Sultan Agung sebagai masa pemassalan keris. Begitu pula, era nom-noman, yakni masa setelah pecahnya Surakarta dan Yogyakarta tahun 1755, sebagai puncak baru pecapaian estetika keris. Akan tetapi, perpaduan kedua unsur itu, massal dan kesempurnaan estetis, memang sulit memuncak seperti masa keemasannya lagi, terutama karena kemunduran yang semakin parah dari kekuasaan kerajaan-kerajaan di nusantara, yang berarti juga kemunduran kemiliterannya, di mana keris merupakan salah satu penunjangnya.
Pada era PB, memang terjadi kemajuan 'kualitas' mencolok dalam garap (pembuatan) dan bahan. Terjadi eksplorasi estetik baru, yang antara lain menghasilkan sejumlah dapur (sosok) baru; ricikan (detail) yang semakin tegas-dalam, rapi, beragam; eksperimentasi garap dan model baru pamor; serta stilisasi baru yang memasukkan ukuran sedikit lebih besar, serta suasana necis dan gagah. Sedang dari segi bahan, semakin jelas terjadi kontrol kualitas lebih ketat atas bahan pamor dan bajanya. Akan tetapi, juga pada masa inilah keris perlahan-lahan kehilangan peran sentralnya dalam kebudayaan kita, karena dilucuti secara fungsional, dari sebagai senjata, baik dalam arti fisik maupun spiritual, menjadi sekadar perabot seremonial yang cuma diagul-agulkan berlebihan.
Tak jelas apakah hal ini, yang juga diikuti 'kemajuan' dalam bidang seni lainnya, seperti sastra dan tari, bersangkut paut dengan tema lanjutan inward looking, yang lalu menghasilkan perumitan dalam segala bidang, akibat semakin berkurangnya ruang gerak para elite Jawa di masa itu pada bidang pemerintahan dan militer. Akan tetapi, di masa itu cengkeraman Belanda memang sudah semakin menjadi, dan wilayah kekuasaan kedua kerajaan (bekas Mataram) itu sudah menyusut jauh tinggal Bagelen, Kedu, Surakarta, dan Yogyakarta saja. Lebih lanjut, masyarakat Jawa bahkan mengalami demiliterisasi total akibat Pax Nederlandica pada abad ke-19. Dan, bagi Ricklefs, kemungkinan hal-hal inilah yang ikut mendorong elite Jawa melarikan diri pada perumitan estetik protokoler dan tata krama, termasuk 'peningkatan' penilaian kultural terhadap keris.
Dengan ini, zaman rupanya mulai menanamkan bibit kepudaran keris. Masalahnya, para petinggi kerajaan, yang masih memesan keris sebagai klangenan (hobi), dan karena itu langsung maupun tidak ikut menjadi pendukung finansial para empu, jumlahnya jelaslah sangat terbatas. Terlebih lagi, seperti digambarkan Groneman, kesulitan ekonomi menyeluruh, yang berikutnya melanda kerajaan-kerajaan yang bangkrut itu, berdampak berat juga terhadap para priyayi ini.
Akan tetapi, yang lebih mendasar barangkali ialah, baik dalam pengertian fisik maupun spiritual, keris tetaplah senjata. Oleh karena itu, nasibnya secara lebih massal, tentu sejajar dengan keadaan kemiliteran pada masanya (Banyak sumber, misalnya, memperlihatkan bahwa keris merupakan perangkat senjata inventaris resmi bagi para prajurit Mataram). Oleh karena itu, tak terlalu mengherankan jika sepanjang abad ke-19 kita menyaksikan kemerosotan yang drastis dari seni tempa ini, sejajar dengan semakin terpuruknya kerajaan-kerajaan kita akibat hegemoni Belanda, dan khususnya demiliterisasi masyarakat Nusantara sebagai akibatnya.
Situasi inilah yang ditangkap dan diprihatini Groneman ketika menjadi parah seabad kemudian. Jawaban atas 500 kuesioner yang disebar Residen Couperus atas permintaannya memperlihatkan, 21 kota di Jawa masih punya penempa pamor tetapi tinggal hanya bekerja kalau ada pesanan, 42 distrik yang dulu punya tetapi saat itu tidak lagi, dan 81 distrik bahkan sudah lama tak tahu-menahu.
Dan sekarang, kita menjadi saksi, betapa imbauan Groneman yang romantis itu, yang meminta semua pihak menyumbang dalam menghidupkan kembali seni tempa ini, ternyata tak berarti. Saat ini, keadaan jauh lebih parah lagi: hanya tinggal seorang empu profesional di Yogya, beberapa empu pesanan dan empu belajar di Solo, serta beberapa empu pengrajin kodian di Aengtongtong, Gresik, Madiun, dan Malang.
Keris sebagai alat, sebagai benda budaya, betapapun adalah wujud hasil sebuah teknologi. Dan, teknologi senantiasa berdimensi waktu. Dengan demikian, penyebab kepudaran keris yang lain-lain, walaupun juga nyata, bisa dikesampingkan. Yang pokok, sebagai hasil teknologi, betapapun kita kagumi, segera menjadi tidak kontekstual lagi dengan zamannya, sesegera itu pula ia ditinggalkan. Masalahnya, terkadang, kekaguman berarti berhenti, sementara waktu tidak. Keris segera, dan sudah, menjadi masa lalu.
Sementara itu, dari hari ke hari, dari seorang pedagang ke pedagang lain, dari satu kolektor ke kolektor lain, kita menyaksikan tingkat keausan, karat, bahkan kerusakan total yang semakin merata dan tak tertanggulangi, baik karena buruknya perawatan, rendahnya pemahaman, maupun brengseknya keisengan. Jam mundur keris sudah lama berdetik. Kalau dianggap masih sepantasnya harus dikagumi sebagai sebuah pencapaian tinggi nenek moyang kita, barangkali kecintaan terhadap keris sudah membutuhkan redefinisi: konservasi, bukan sekadar koleksi.
Budiarto Danujaya  

Ruwatan

Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang  diperkirakan  bisa berdampak kesialan didalam hidupnya.


Dari pembicaraan dengan Sahabat saya, Mas Bambang Harsrinuksmo (alm) yang menurut beliau berdasarkan pendapat pribadi dan boleh diikuti atau tidak dan bisa sebagai pertimbangan kita, ada dua hal yaitu :
 
1. Kalau kita lihat prasyarat ruwatan maka hampir semua kita pasti harus diruwat, ini menunjukan bahwa kita harus selalu "eling" juga untuk bersedekah untuk selamat, ini sebetulnya bisa dilakukan tanpa harus mengikuti upcara ruwatan itu sendiri karena ketenangan itu ada didalam hati masing masing.
 
2. Ruwatan selalu dikaitkan dengan Batara Kala, sebetulnya intinya adalah "Kala" yang artinya waktu, setiap orang pasti takut dengan waktu. Contoh yang paling sederhana seperti seorang gadis yang cantik, pasti setelah berlalu misal 40 tahun maka kecantikannya akan hilang, bisa diibaratkan kecantikannya dimakan "Kala", setiap barang juga akan usang dimakan "kala" dan hanya yang pasrah serta sadar akan hukum alam yang akan malaluinya dengan tenang. Ketenangan batin juga bisa dikaitkan dengan banyaknya perbuatan baik yang dilakukannya karena setiap manusia pasti pernah merasa bersalah dan amal perbuatan baiklah yang akan menyelamatkannya.
Demikian percakapan dengan Mas Bambang, anda bisa membandingkan dengan tulisan dibawah ini.
 
Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita "wayang" dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.
Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut.
 
Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Uma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung ". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi ,agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/ purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia) ,dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).
 
Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sbb :
Alat musik jawa (Gamelan)
Wayang kulit satu kotak (komplit)
Kelir atau layar kain
Blencong atau lampu dari minyak
 
Selain peralatan tersebut diatas masih diperlukan sesajian yang berupa:
Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainya.
Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan.
Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih.
Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah).
 
Bermacam-macam nasi antara lain :
Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dsb.
Nasi wuduk dilengkapi dengan; ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau brambang, kedele hitam.
Nasi kuning dengan perlengkapan; telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
 
Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang merah, putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam) seperti : pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen).
Benang lawe, minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu blencong, sebab walaupun siang tetap memakai lampu blencong.
Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang.
Yang berupa sajen antara lain : rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading linma ros. Kesemuanya itu diletakan ditampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kuluban panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak anpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang.
Sajen buangan yang ditunjukkan kepada dhayang yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen. ). Sajen itu dibuang di tempat angker disertai doa (puji/mantra) mohon keselematan.
Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan.


Postingan Lebih Baru Beranda