Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya.
Dari pembicaraan dengan Sahabat saya, Mas Bambang Harsrinuksmo (alm) yang menurut beliau berdasarkan pendapat pribadi dan boleh diikuti atau tidak dan bisa sebagai pertimbangan kita, ada dua hal yaitu :
1. Kalau kita lihat prasyarat ruwatan maka hampir semua kita pasti harus diruwat, ini menunjukan bahwa kita harus selalu "eling" juga untuk bersedekah untuk selamat, ini sebetulnya bisa dilakukan tanpa harus mengikuti upcara ruwatan itu sendiri karena ketenangan itu ada didalam hati masing masing.
2. Ruwatan selalu dikaitkan dengan Batara Kala, sebetulnya intinya adalah "Kala" yang artinya waktu, setiap orang pasti takut dengan waktu. Contoh yang paling sederhana seperti seorang gadis yang cantik, pasti setelah berlalu misal 40 tahun maka kecantikannya akan hilang, bisa diibaratkan kecantikannya dimakan "Kala", setiap barang juga akan usang dimakan "kala" dan hanya yang pasrah serta sadar akan hukum alam yang akan malaluinya dengan tenang. Ketenangan batin juga bisa dikaitkan dengan banyaknya perbuatan baik yang dilakukannya karena setiap manusia pasti pernah merasa bersalah dan amal perbuatan baiklah yang akan menyelamatkannya.
Demikian percakapan dengan Mas Bambang, anda bisa membandingkan dengan tulisan dibawah ini.
Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita "wayang" dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.
Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut.
Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Uma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung ". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi ,agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/ purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia) ,dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).
Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sbb :
Alat musik jawa (Gamelan)
Wayang kulit satu kotak (komplit)
Kelir atau layar kain
Blencong atau lampu dari minyak
Selain peralatan tersebut diatas masih diperlukan sesajian yang berupa:
Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainya.
Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan.
Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih.
Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah).
Bermacam-macam nasi antara lain :
Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dsb.
Nasi wuduk dilengkapi dengan; ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau brambang, kedele hitam.
Nasi kuning dengan perlengkapan; telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang merah, putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam) seperti : pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen).
Benang lawe, minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu blencong, sebab walaupun siang tetap memakai lampu blencong.
Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang.
Yang berupa sajen antara lain : rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading linma ros. Kesemuanya itu diletakan ditampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kuluban panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak anpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang.
Sajen buangan yang ditunjukkan kepada dhayang yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen. ). Sajen itu dibuang di tempat angker disertai doa (puji/mantra) mohon keselematan.
Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan.
Sumber: http://www.heritageofjava.com/
Label: budaya indonesia, Budaya jawa, culture, java
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar