Nyok kite nonton ondel-ondel, nyok…
Label: arak-arakan, budaya betawi, jakarta, ondel-ondel, tradisi betawi
Label: blangkon, Budaya jawa, pakaian adat jawa, tradisi jawa
Label: bang Ben, benyamin S, tokoh betawi
Label: beautiful Bali, kuta, pantai di Bali, pulau Bali
Ujung Genteng, nama yang unik untuk sebuah tempat pariwisata. Nama Ujung genteng sendiri berasal dari kata “ujung gunting”, yang berarti sebuah tempat di mana ujung Genteng berada di sudut atau ujung dari pulau di Jawa Barat ujungnya tersebut berbentuk seperti Gunting. Maka di namakan lah Ujung Gunting atau biasa di mkenal dengan sebutan Ujung Genteng. Dapat di tempuh kurang sebih sekitar 220 kilometer dari Ibu kota Jakarta dan sekitar 230 kilometer dari Kota Bandung, atau sekitar 6 sampai 7 jam perjalanan dengan mengunakan kendaraan roda empat. Ujung Genteng merupakan daerah pesisir pantai selatan jawa Barat. Terletak di Kabupaten Sukabumi tepatnya di Kecamatan Ciracas desa Gunung Batu. Keunikan pantai ini selain namanya adalah karakteristik pantainya yang masih alami dengan pasir putihnya serta pemandangan alam sekitarnya. Terutama pada saat cakrawala menggelap dan matahari menenggelamkan dirinya atau memunculkan dirinya sungguh sangat indah tak terkatakan, cocok bagi para penggila fotography yang suka dengan hunting foto. Belum lagi dengan bersihnya airnya dan ombaknya yang besar. Tapi jangan takut ombak di Ujung Genting tidak seperti pantai-pantai di pelabuhan Ratu pada umumnya yang sering menelan korban akibatnya ganasnya ombak. Hal ini di karenakan ombak yang besar itu terhalang oleh gugusan karang laut di depan bibir pantai. Adalagi selain keindahan yang di suguhkan para pelancong juga dapat melihat satwa langka yang berada di pantai ini, yaitu Penyu Hijau (Chelonia Mydas) dan nampak pada malam hari untuk bertelur dan mengubur telurnya di bibir pantai. Untuk para Surfing mania, kebanyakan dari turis mancanegara ujung genteng sangat menawan karena airnya yang bersih dan ombaknya yang menantang. Juga banyak para pemancing ujung genteng merupakan surganya para pemancing, karena masih banyaknya ikan Marlin yang dapat di temui di daerah ini dan variasi jenis ikan-ikan lainnya juga amat beragam. Sumber: http://akucintaindonesia.net
Label: candi di kediri, sejarah kediri, temple
Dasar religi orang Baduy ialah penghoramatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar supaya orang hidup menurut alur itu dalam menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai keturunan yang lebih muda). Mereka bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terbelihara baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan. Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan Batara Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat agama Sunda Wiwitan. Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung Cibeo. Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung (Garna 1988). Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda. Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan patrilineal. Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung. Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia. Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang ---- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia. Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci). Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting (peling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur. Sumber: Sumber: http://uun-halimah.blogspot.com
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia.
Label: baduy culture, budaya baduy, Indonesia culture, suku baduy
“Ulos Batak”, dikenal sebagai Jati diri orang Batak sesuai Budaya dan Adatnya.
0 komentar Diposting oleh Rahayu di 02.21Orang Batak sudah dikenal sebagai “Bangso”, kenapa..? Dahulu sudah memiliki Kerajaan sendiri, Mardebata Mulajadi Nabolon (“pencipta yang maha besar”), memiliki Surat Aksara Batak, dan sudah pernah memiliki Uang tukar yakni Ringgit Batak (“Ringgit Sitio Suara”), uning-uningan namarragam (“musik”), memiliki Budaya Adat, dan mempunyai Hukum. Namun sekarang ini sudah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan orang Batak Toba sudah banyak yang tidak mengetahui bahasa daerahnya sendiri, melihat perkembangan teknologi sekarang ini, tor-tor Batak sudah banyak yang tidak mengetahuinya, bahkan dewasa ini Ulos Batak tidak dikenal jenis-jenis dan Fungsinya
2 Musa 19 ayat 10:
Dung i didok Jahowa ma tusi Musa laho maho tumopot bangso i jala urasi nasida sadarion dohot marsogot asa ditatap nasida Ulos na.
Dengan dasar ini Bersama Toba dot Com, mensosialisasikan Jenis dan Fungsi Ulos Batak:
I.Ulos Antak-Antak, dipakai selendang orang tua melayat orang meninggal, dan dipakai sebagai kain dililit/ hohop hohop waktu acara manortor.
II.Ulos Bintang Maratur, Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya didalam acara-acara yakni: Diberikan kepada anak yang memasuki rumah baru oleh orang tua, kalau diadat Toba Ulos ini diberikan waktu selamatan Hamil 7 Bulan oleh orang tua, tetapi lain halnya kalau di Tarutung Ulos ini yang diberikan waktu acara suka cita (“gembira”), Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu yang baru lahir, parompa walaupun kebanyakan kasih mangiring apalagi yang maksudnya agar anak yang baru lahir diiringi anak selanjutnya, kemudian ulos ini dipakai untuk pahompu yang dibabtis dan juga dipakai untuk sebagai selendang.
III.Ulos Bolean, Ulos ini dipakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.
IV.Ulos Mangiring, Ulos ini dipakai selendang, Tali-tali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang dimaksud sebagai Simbol keinginan agar sianak diiringi anak yang seterusnya, bahkan Ulos ini dapat dipakai sebagai Parompa.
V.Ulos Padang Ursa, dipakai sebagai Tali-tali dan Selendang.
VI..Ulos Pinan Lobu-Lobu, dipakai sebagai Selendang.
VII. Ulos Pinuncaan, Ulos ini sebenarnya terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos yang kegunaannya antara lain:
Ulos ini dapat dipakai berbagai keperluan acara-acara duka cita atau suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai/ disandang oleh Raja-Raja Adat maupun oleh Rakyat Biasa selama memenuhi pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat suhut sihabolonon/ Hasuhutonlah (“tuan rumah”) yang memakai ulos ini, kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran, ulos ini juga dipakai/ dililit sebagai kain/ hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton, dan Ulos ini sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan.
VIII,Ulos Ragi Hotang, Ulos ini biasa diberi kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai Ulos Hela.
IX.Ragi Huting, Ulos ini sekarang sudah Jarang dipakai, konon jaman orang tua dulu sebelum merdeka, anak-anak perempuan pakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari dililit didada (Hoba-hoba), dan kemudian dipakai orang tua sebagai selendang apabila bepergian.
X.Ulos Sibolang Rasta Pamontari, Ulos ini kalau jaman dulu dipakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada jaman sekarang ini sibolang bisa dikatakan symbol duka cita, dipakai juga sebagai Ulos Saput (yang meninggal orang dewasa yang belum punya cucu), dan dipakai sebagai Ulos Tujung (Janda/Duda yang belum punya cucu), dan kemudian pada peristiwa duka cita Ulos ini paling banyak dipergunakan oleh keluarga dekat.
XI.Ulos Sibunga Umbasang dan Ulos Simpar, dipakai sebagai Selendang.
XII.Ulos Sitolu Tuho, Ulos ini dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita,
XIII.Ulos Suri-suri Ganjang, dipakai sebagai Hande-hande pada waktu margondang, dan dipergunakan sebagai oleh pihak Hula-hula untuk manggabe i borunya karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe.
XIV.Ulos Ragi Harangan, pemakaiannya sama dengan Ragi Pakko.
XV. Ulos Simarinjam sisi, dipakai sebagai kain, dan juga dilengkapi dengan Ulos Pinuncaan disandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani yang memakai ini satu orang paling depan.
XVI. Ulos Ragi Pakko, dipakai sebagai selimut pada jaman dahulu dan pengantar wanita yang dari keluarga kaya bawa dua ragi untuk selimut yang dipergunakan sehari-hari, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua meninggal akan disaput pakai Ragi ditambah Ulos lainnya yang disebit Ragi Pakko lantaran memang warnanya hitam seperti Pakko.
XVII.Ulos Tumtuman, dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai anak yang pertama dari hasuhutan.
XVIII Ulos Tutur-Tutur, dipakai sebagai tali-tali dan sebagai Hande-hande yang sering diberikan oleh orang tua sebagai Parompa kepada cucunya.
Maka dari jenis dan fungsi Ulos ini, disebut pengenalan jati diri orang batak sesuai Budaya dan Adatnya, dan orang Batak dikenal dari Ulos yang disandangnya, sian Tortornya bahkan dari Tungkot na.
Horassssss.!!!!!.
Label: adat batak, batak toba, budaya batak, ulos
beberapa butir nilai budaya Bali sebagai berikut: 1. Satya (kebenaran) 2. Udàratà (kedermawanan) 3. Úubhasaýkalpa (hasrat luhur) 4. Nirbhayata (keberanian) 5. Svavalambana (percaya diri) 6. Yajña (pengorbanan) 7. Viúvaprema (kasih sayang universal) 8. Nirlobha/Aparigraha (tidak rakus) 9. Ìrûyà (iri hati) 10. Sàmàjika Saògathana (organisasi sosial) 11. Mukti (Mokûa/penyelamatan spiritual) 12. Svasti Vacana (aspirasi-aspirasi luhur) 13. Úànti (damai) 14. Ahiýúa (tanpa kekerasan/tidak anarkis) 15. Bhadram (keutamaan/kemuliaan) 16. Vicakûana (kebijaksanaan) 17. Tapa (pengendalian diri) 18. Niûkàmakarma (tidak mementingkan diri sendiri) 19. Daivisampat (sifat ketuhanan/sifat yang luhur) 20. Samànaá/Ekatva/Advaita/Kalih Samaika/Bhineka Tunggal Ika (persatuan/kesatuan) 21. Lokasaýgraha (kesejahteraan bersama) 22. Samani (solidaritas/kebersamaan) 23. Vaúudhaivakutumbhakam (semua makhluk bersaudara) 24. Maduravacana (ucapan yang baik dan ramah) 25. Prayaúcitta (kesucian hati) 26. Sevaka (pelayanan sosial) 27. Akrodha (mengendalikan emosi) 28. Guruúuúrusa (taat kepada guru) 29. Úauca (suci/jernih pikirannya) 30. Àhàralaghava (mengendalikan diri dalam menikmati makanan) 31. Apramadha (tidak lalai) 32. Brahmacari (tekun belajar) 33. Avyavaharika (tidak suka bertengkar) 34. Astainya (tidak mengambil milik orang lain/mencuri) 35. Vairàgya (tidak mengikuti dorongan nafsu) 36. Tyàga/Lascarya (tulus ikhlas) 37. Santosa (puas/mensyukuri karunia Tuhan YME) 38. Tapa (pengendalian diri) 39. Svàdhyàya (belajar) 40. Ìúvaraprànidhana (mendekatkan diri kepada Tuhan YME) 41. Kayika Pariúuddha (perbuatan yang dipandang baik, yaitu: tidak membunuh, mencuri, dan tidak berzina) 42. Vacika Pariúuddha (perkataan yang dipandang baik, yaitu: tidak jahat atau munafik, tidak kasar, tidak memfitnah dan tidak berdusta) 43. Manacika Pariúuddha (pikiran yang dipandang baik, yaitu: tidak menginginkan milik orang lain, kasih dan sayang kepada semua makhluk, dan beriman kepada ajaran karmaphala) 44. Arjawa (jujur) 45. Anåsaýsya (tidak memenntingkan diri sendiri) 46. Arimbhava (bersimpati kepada penderitaan orang lain) 47. Indriyanigraha (mengendalikan indria) 48. Dama (bisa menasehati diri sendiri0 49. Dharaka, Sthitaprajña (tahan uji dalam menghadapi berbagai tantangan, stabil dalam suka dan duka) 50. Hrìh/Jengah (memiliki rasa malu) 51. Sadhusaýsarga (bergaul dengan orang-orang baik) 52. Satyavacana (menepati janji) 53. Satyamitra/Tindih (solidaritas kepada teman) 54. Satyasamaya (tepat waktu) 55. Kûama (pemaaf) 56. Prìti (simpati, sangat welas asih) 57. Prasàda (berpikiran jernih) 58. Madurya (manis pandangannya) 59. Màrdava (berhati lembut) 60. Dàna (memberikan derma/berderma) 61. Ijya (senantiasa memuja Tuhan YME dan leluhur) 62. Dhyàna (kontemplasi) 63. Upasthanigraha (pengendalian dorongan seks) 64. Brata (melakukan pantangan tertentu) 65. Mauna/Mona (mengendalikan wicara) 66. Snana (menyucikan diri dengan sembahyang rutin) 67. Dharma (taat menjalankan ajaran agama) 68. Vimatsaritva (tidak dengki/irihati) 69. Tìtìkûa (memiliki ketekunan dan kesabaran hati) 70. Anasùyà (tidak berbuat dosa) 71. Dhåti (hatinya tenang) 72. Andrayuda (menguasai ajaran agama, pengetahuan lainnya dan bijaksana) 73. Gunabhikûana (jujur dan mampu mengatasi berbagai kesukaran) 74. Sadhuniragraha (tidak menyakiti makhluk lain) 75. Vidagdaprasana (tidak mudah dihasut/dipropokasi) 76. Kåtarajahita (tidak segan meminta maaf bila melakukan kesalahan) 77. Tyagaprasana (tidak mengenal lelah bila melaksanakan tugas) 78. Suraraksana (tidak mengenal rasa takut/tidak khawatir) 79. Surapratyana (segan dan hormat kepada atasan/senioritas) 80. Úànta (satunya kata dengan perbuatan) 81. Sanmatà (selalu ingin berbuat baik) 82. Karuna (cinta kasih terhadap semua makhluk) 83. Upeksa (mawas diri) 84. Mudìtà (tutur katanya simpati) 85. Maitri (memiliki kasih sayang/bersahabat kepada semua makhluk) 86. Satyam nasti paro dharma (kebenaran adalah dharma tertinggi) 87. Ahiýúa paramo dharmah (tidak menyakiti hati sesama makhluk hidup merupakan dharma tertinggi) 88. Tat tvam asi (memandang setiap makhluk seperti diri sendiri) 89. Trihita Karana (tiga hal yang menyebabkan sejahtera, hubungan harmoni dengan Tuhan YME, dengan sesama makhluk, dan dengan alam lingkungan/sekitar) 90. Rvabhineda (dua hal yang berbeda, baik-buruk, salah-benar dan lain-lain) 91. Sagari-giri-adomukha (keindahan yang mengandung daya magnetis bila di tepi pantai terlihat gunung dan pegunungan yang indah, dan bila berada di pegunungan, kelihatan pantai dan lautan yang indah) 92. Satyam-Úivam-Sundaram (kebenaran-keharmonisan-keindahan) 93. Parasparosarpanaya (salunglung-sabhayanta) (wirang) (beriuksaguluk) (bersatu padu) (solidaritas, seia sekata, senasib sepenanggungan) 94. Dakûinà (kemurahan hati), 95. Asevakadharma (mendahulukan kebajikan) 96. Úànta-jagadhita (damai dan sejahtera) 97. Trimandala (uttama, madhyama, kaniûþama, hulu, madia, teben)(di atas, di tengah-tengah, di bawah) 98. Bhoga, Upabhoga, Paribhoga (pangan, sandang, papan) 99. Asih-Puóya-Bhakti (cinta kasih, jasa dan penghormatan) 100. Sadhugunavan (berbudipekerti luhur dan memiliki kemampuan) 101. Agawe sukhaning praja (sukhaning ràt kininkinira)(senantiasa membangun kesejahteraan masyarakat) 102. Deúa-Kàla-Patra (tempat-waktu-keadaan) 103. Deúa amawacara nàgara amawa tata (desa punya aturan, negara punya hukum yang mengatur segalanya) 104. Nityasa angulih sutreptining nàgantu (senantiasa mewujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat) 105. Pràjarakûaka (mewujudkan ketentraman masyarakat) 106. Ksayanikang papa nahan prayojana (lenyapnya penderitaan masyarakat menjadi tujuan hidupnya) 107. Sakatilinganingambek, nyata katresnan yata katemu (sesuatu yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan berhasil dicapai) 108. Haywa ngkàla kûepa (tidak membuang kesempatan/waktu) Sumber: http://www.parisada.org/
Label: Bali Culture, budaya bali, Indonesia culture
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda